Apakah ‘Stainless straw’ Beneran Lebih Eco-friendly Dibandingkan Sedotan Plastik?

Apa lo masih ingat video viral 2015 dimana ada sedotan plastik yang tersangkut pada hidung kura-kura? (Sea Turtle Biologist, 2015) Sejak video itu, banyak orang jadi khawatir akan limbah plastik dan lebih memperhatikan penggunaan produk berbahan plastik yang susah terurai; terutama efek plastik tersebut pada hewan-hewan laut. Video ini mendorong berbagai gerakan-gerakan besar dari masyarakat, perusahaan, hingga pemerintah. Kini terdapat lebih dari 10 negara bagian Amerika yang melarang penggunaan sedotan plastik. Bahkan negara Scotland, Taiwan, Jamaika, Dominica, dan Costa Rica menerapkan hal yang sama. Sedotan dijadikan sosok musuh dalam naratif ini karena sedotan plastik adalah hal kecil yang sebenarnya bisa dengan mudah dikurangi penggunaannya.

Sebenarnya, gerakan mengurangi penggunaan sedotan plastik ini sangatlah bagus. Yang menjadi masalah adalah hadirnya sedotan alternatif dengan bahan-bahan yang lebih “ramah lingkungan”. Muncul tren-tren sedotan sustainable yang terbuat dari steel, silicon, PLA, glass, bamboo, jute, kertas, dan bahan-bahan lainnya. Sedotan-sedotan alternatif ini dapat menghasilkan efek bumerang dari tujuan awal menyelamatkan lingkungan. 

Terdapat detail-detail kecil yang cenderung tidak diperhatikan mayoritas masyarakat dalam usaha pengurangan sampah plastik. Banyak orang lupa bahwa produksi sedotan alternatif yang dipasaran juga melalui rangkaian proses yang dapat merusak lingkungan kita. Contohnya, dalam produksi sedotan kertas perlu menebang pohon untuk mendapatkan bahan baku kertas. Kemudian, sedotan stainless steel dan kaca juga memerlukan proses produksi yang menghasilkan jejak karbon akibat penggunaan bahan bakar fosil. Banyak orang juga melupakan emisi yang dihasilkan oleh transportasi apabila bahan-bahan yang digunakan diimpor dari negara lain. Belum lagi penggunaan bahan baku yang sifatnya ambigu bagi masyarakat luas, seperti bahan PLA yang katanya gampang terurai, tetapi nyatanya bahan ini hanya dapat terurai pada kondisi tertentu saja. 

Banyak sedotan alternatif yang mempromosikan produknya sebagai “ramah lingkungan”, tetapi hanya memperhatikan pengurangan polusi dari sisi limbah laut saja. Terdapat faktor-faktor lain yang seharusnya diperhatikan, seperti penggunaan lahan, emisi udara, eutrofikasi, penggunaan energi, acidification, dan faktor-faktor lainnya yang berkontribusi dalam merusak lingkungan. 

Mungkin sekarang lo bertanya-tanya: “Jadi, dari antara bahan-bahan alternatif yang ada, sedotan berbahan dasar apa yang paling ramah lingkungan?”

Takunda Chitaka, seorang postdoctoral research fellow di University of Western Cape, menerbitkan sebuah penelitian yang membandingkan 5 jenis sedotan di Afrika Selatan untuk mencari tahu sedotan berbahan baku apa yang paling ramah lingkungan. Takunda menggunakan Life Cycle Assessment(LCA), yaitu metode yang umum digunakan untuk mengukur dampak suatu hal(barang, proses, dll) terhadap lingkungan. Dengan judul penelitian ‘In pursuit of environmentally friendly straws’, Takunda membandingkan 5 jenis sedotan yang tersedia di negaranya, yaitu plastik, kertas, polylactide(PLA), kaca, dan besi (steel). Dari kelima bahan tersebut, hanya sedotan plastik yang diproduksi secara lokal menggunakan bahan baku lokal. Kaca dan besi diolah dalam negeri menggunakan bahan-bahan yang diimpor, sementara sedotan kertas dan PLA diimpor dari luar negeri. 

Takunda menemukan bahwa sedotan besi memang memiliki kemungkinan yang kecil untuk berakhir sebagai limbah di laut. Namun, karena dampak dari penambangan, pengolahan, dan pengiriman, sedotan besi harus digunakan 37 kali agar dampaknya lebih sedikit daripada sedotan plastik. Maka, lebih baik menggunakan 20x sedotan sekali pakai daripada membeli satu sedotan besi yang nggak terpakai. 

Sedotan berbahan kaca cenderung lebih ramah lingkungan dari sedotan besi karena selain juga memiliki kemungkinan yang kecil untuk berakhir sebagai limbah di laut, sedotan kaca hanya perlu digunakan 23 kali agar dampaknya lebih sedikit dari sedotan plastik. Namun, Takunda juga menyadari masalah sedotan kaca yang mudah pecah dan akhirnya berdampak kepada lingkungan. 

Sedotan berbahan PLA dipasarkan sebagai sedotan ramah lingkungan yang dapat tarurai. Namun, ternyata amorphous PLA terurai 36% dalam 12 bulan di suhu 35°C sementara semi-crystalline PLA tidak terurai sama sekali pada suhu yang sama. Semi-crystalline PLA hanya dapat terurai pada suhu yang panas. Bahan PLA tidak memenuhi standar ‘biodegradable’, yaitu material harus terurai 70% setelah 12 minggu. 

Sedotan kertas adalah sedotan yang paling ramah lingkungan diantara kelima sedotan yang dianalisa. Kertas memerlukan jauh lebih sedikit bahan baku dan dapat terurai dengan cepat. 

Dari hasil penelitian Takunda, sedotan kertas adalah sedotan yang paling ramah lingkungan. Jadi, apakah sekarang kita harus mulai menggunakan sedotan kertas? Belum tentu. Karena penelitian ini dilakukan di Afrika Selatan. Hasil penelitian akan berbeda bila dilakukan di negara lain akibat penggunaan bahan baku dan proses produksi. Salah satu contoh perbedaan bahan baku dan dampaknya pada lingkungan adalah penggunaan batu bara sebagai bahan produksi plastik. Berbeda dengan Eropa dan Amerika yang menggunakan minyak bumi dan gas alam untuk memproduksi plastik mereka, Afrika Selatan menggunakan batu bara sebaga bahan utama. Batu bara jauh lebih merusak lingkungan dibandingkan minyak bumi dan gas alam. Karena itulah produksi plastik di Afrika Selatan bisa 5 kali lebih berdampak pada lingkungan dibandingkan produksi plastik di Eropa atau Amerika. 

Ada nggak sih, yang bikin penelitian seperti Takunda di negera lain dan mendapatkan hasil yang jauh berbeda? Ternyata ada loh, Blistener! Salah satunya adalah penelitian Guilherme yang menganalisa 6 jenis bahan baku sedotan yang ada di Brazil, yaitu plastik, besi, kaca, kertas, bamboo, dan jute. Dari keenam bahan baku tersebut, Guilherme mendapati bahwa sedotan plastik adalah yang paling ramah lingkungan dibandingkan sedotan lainnya. Penelitian ini menggunakan metode Life Cycle Assessment(LCA), metode analisa yang sama seperti yang digunakan Takunda, dan hasil yang didapatkan bisa sama sekali berbeda akibat perbedaan proses produksi.

Jadi, sedotan berbahan dasar apa yang paling cocok digunakan di Indonesia?

Kita belum bisa menentukan hal tersebut karena belum ada yang melakukan Life Cycle Assessment pada jenis-jenis sedotan yang ada di Indonesia. Maka, langkah yang paling cerdas adalah untuk mengurangi penggunaan sedotan jenis apapun seminim mungkin. Kalo bisa nggak pakai sedotan, gausah deh! 

Kasus ini mengingatkan kita bahwa tindakan yang kita lihat sebagai ‘ramah lingkungan’ bisa saja malah merusak bumi kita. Perjuangan memperbaiki ekosistem kita adalah sesuatu yang sangat kompleks dan tidak sesimpel mengikuti tren go green yang sedang marak di sosial media. Satu hal yang mudah dan simpel untuk dilakukan untuk menyelamatkan bumi kita adalah dengan consume less. Karena segala sesuatu yang melalui proses produksi dan bisa kita beli untuk di konsumsi pasti memiliki jejak karbon yang merusak lingkungan. Belilah barang yang benar-benar lo butuhkan! Jangan menghabiskan sumber daya bumi ini hanya karena kerakusan pribadi. 

 

 

Don’t forget to follow our social media for more information!

Instagram: @bvoice_radio 

Twitter: @bvoice_radio 

Facebook: BVoice Radio 

Line@: @jfn14361 

YouTube: BVoice Radio

 

(Writer: Ellena Ruth Wangsa / BVoice Radio)

More Like This